Berita Kedamaian

Lagi, dalam menyambut Ramadhan hari pertama ini, di tengah suatu tindakan kekerasan bom, kali ini saya kutip tulisan dari kalangan non Muslim, dengan Judul:

Biarkan Kedamaian Bicara

Oleh: Gede Prama : Senin, 5/8/2002.

Dalam jangka waktu yang amat lama, wacana publik kita ditandai oleh kekerasan yang memperkuda kedamaian. Tidak hanya setelah republik ini merdeka, jauh sebelumnyapun sejarah kita sudah ditandai oleh wajah-wajah kekerasan di sana-sini. Di Jawa Barat sana, banyak orang yang tingkat penghormatannya lebih rendah di bandingkan daerah Jawa lainnya terhadap nama Gajah Mada. Apa lagi yang ada di balik ini semua kalau bukan sejarah kekerasan. Sejarah masa penjajahan apa lagi. Bercak dan aliran darah ada di mana-mana. Dulunya, setelah kemerdekaan direbut dan pembangunan dijalankan, diharapkan bercak dan aliran darah bisa dihilangkan. Nyatanya, baik di masa orde lama, orde baru, bahkan sampai sekarangpun ia masih menjadi berita di hampir setiap media. Ambon, Poso, Aceh, Irian Jaya, Jakarta hanyalah sebagian saja dari sekian banyak kekerasan mengerikan, tapi menjadi santapan wacana yang digemari. Belum lagi ditambah dengan kekerasan-kekerasan tersembunyi lainnya. Industri keuangan dan perbankan yang dirampok orang di sana-sini. Uang negara yang dijarah dari dulu hingga sekarang. Hubungan industrial yang ditandai banyak demonstrasi, pemogokan, pembakaran dan sejenisnya. Dan deretan panjang kekerasan lainnya.

Entah mana yang lebih mewakili. Sejarah manusia yang memang membawa kekerasan ke mana-mana, atau karena publik lebih tertarik dengan topik-topik kekerasan. Yang jelas, sulit diingkari kenyataan, semakin banyak berita kekerasan muncul dalam wacana publik, semakin laris medianya, serta semakin banyak orang mau membaca dan terlibat wacana. Anda mungkin sudah mahfum, beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat – kalau tidak mau dikatakan kebanyakan – malah ‘mendulang’ hasil dari kekerasan. Buktinya, setelah kekerasan muncul, mereka muncul sebagai pahlawan, penyelamat, bahkan ada yang menjadi penguasa baru. Kadang saya malah bertanya penuh keraguan, tidakkah rezim yang sedang berkuasa ini adalau output dari mesin raksasa yang bernama kekerasan ? Kalau mesinnya mesin kekerasan, adilkah kalau kita mengharapkan output kedamaian dari sana ?

Anda jawab sendirilah pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tadi. Yang jelas, dengan resiko ditertawakan orang, ada tidak sedikit orang yang berharap agar kedamaian diberi kesempatan untuk berbicara. Boleh saja dia tidak menarik selera wacana banyak orang. Tidak membuat media menjadi laris manis. Tidak juga menghasilkan pahlawan dan penyelamat. Akan tetapi, bukankah menjadi hak azasi setiap orang untuk hidup damai ?

Dibandingkan terlalu banyak bertanya, mari kita sama-sama ulas persoalan dianaktirikannya kedamaian oleh kekerasan. Mereka yang diteropong oleh Naisbitt masuk ke dalam kotak spirituality yes, formal religion no, mungkin menyebut agama telah gagal. Mereka yang antikekuasaan akan menunjuk hidung kekuasaan sebagai biang keladi. Pemerhati pendidikan lain lagi, mereka menuduh lembaga terakhir sudah tidak berfungsi lagi sebagai pembawa misi perdamaian.

Izinkan saya meneropong persoalan ini di tingkat individu. Ada sebuah kualitas pribadi yang berperan besar dalam memproduksi kekerasan. Dia bernama Aku. Dalam keakuan, banyak sekali hal yang sebenarnya berasal dari kedamaian sekalipun, bisa berubah menjadi kekerasan. Bibit-bibit keakuan terakhir bisa bersumber dari keyakinan dan perasaan benar, harga diri yang tinggi, keserakahan akan harta dan tahta, dll.

Coba bayangkan sepasang suami isteri yang sudah sejak lama hidup damai di hutan tanpa gangguan berarti. Suatu hari, ada kebutuhan untuk sekali-sekali bertengkar satu sama lain. Dan sepakatlah mereka untuk memulai pertengkaran. Sang isteri berkata dengan nada membentak : ‘ini ketela kesukaanku !’. Dan suaminya berfikir sejenak, kemudian menjawab dengan penuh kesabaran : ‘ya itu memang kesukaanmu, dan marilah kita makan sama-sama seperti biasa’. Maka, batallah pertengkaran yang sudah direncanakan terlebih dahulu ini.

Cerita ilustratif ini menunjukkan, keakuan memang sudah menjadi sumber pertengkaran di mana-mana. Namun, kesediaan dan kesabaran untuk senantiasa awas dengan keakuan tadi, sudah dan akan terus membantu proses menuju kedamaian. Bedanya dengan kekerasan yang datang tanpa diundang, kedamaian memerlukan ‘undangan’ khusus agar dia datang. Demikian khususnya, sehingga memerlukan biaya yang amat besar.

Salah satu laporan majalah Fortune – maaf saya lupa edisinya – pernah melaporkan sebuah kecenderungan yang mereka sebut dengan the new corporate mystiques. Ternyata, apa yang mereka sebut dengan mistik-mistik baru dunia usaha adalah kecenderungan sejumlah raksasa usaha di sana, untuk mengundang sejumlah rahib Buda sebagai pelatih. Bukan untuk mengajak orang masuk agama Buda. Melainkan, mengajari ekskekutif hidup dalam kedamaian.

Kedamaian – demikian mereka meyakini – adalah syarat utama dari produktivitas. Dalam kedamaian, kita bisa melakukan dan mencapai lebih banyak hal. Mirip dengan keluarga di rumah, apa yang bisa kita capai kalau setiap hari isinya hanya pertengkaran ?

Ada yang bertanya, bukankah kedamaian akan lebih terasa nikmatnya kalau kita pernah mengalami kerusuhan ? Tentu saja. Sebab, kehidupan merupakan hasil dari dialektika. Dan dialektika terakhir, sulit diharapkan berhasil optimal kalau salah satunya jauh lebih dominan dibandingkan yang lain. Mirip dengan kehidupan kita sekarang-sekarang ini, terutama dengan hadirnya kekerasan di banyak pojokan ruang publik. Akankah kita biarkan kedamaian menjadi kuda bisu yang ditunggangi kekerasan ?

divider

Sementara dari Kumpulan blog Kompasiana Oleh Bung Ronaldy – 22 Augustus 2009 di tulis :

Lagi-lagi Malaysia

Runing teks metro tv tadi malam sungguh membuat nasionalisme saya tergugah dan kesal. Masalahnya, Malaysia bikin heboh lagi dengan ulahnya tentang tarian pendet di gelar oleh pemerintahnya dalam promosi pariwisata kepada dunia luar, tanpa permisi atau kulo nuwun kepada Indonesia. Ulahnya itu, membuat Menteri Kebudayaan dan Paraiwista Republik Indonesia (RI), Jero Wicak ‘marah’ dan berkomentar ’sunguh tak beretika kebudayaan tarian kita, pendet di gelar oleh negara tetangga satu rumpun dengan kita’. Kabarnya, Deplu mengajukan nota protes kepada Malaysia tentang masalah ini.

Sebenarnya, bila kita cermati, bukan kali pertama pelanggaran-pelanggaran dilakukan oleh negeri jiran itu. Tahun ini saja kawasan Ambalat, Kalimantan mendapat provokasi secara terang-terangan kapal-kapal perang angkatan laut kerjaaan Malaysia memasuki batas kedaulatan RI tanpa permisi dan sopan santun yang berlaku secara internasional. Kalau saja, Angakatan Laut kita punya otoritas penuh dalam menumpas setiap pelanggar batas yang masuk ke wilayah kita mungkin saja sudah terjadi perang, ’sayang’, peran DPR dan Presiden yang digariskan konstitusi memegang peranan yang sangat dominan dalam menentukan damai dan perang, padahal jelas-jelas dengan mata kepala sendiri, prajurit angkatan laut kita sudah geram dan kesal saja.

Ironis, memang sikap dan tindakan yang harus kita tumpas terbentur dengan konstitusi. Kelonggaran, dan mekanisme yang berlaku di konsitusi kita, inilah yang kabarnya dimanfaatkan pihak pengimpor TKI, infonya kejadian Ambalat dibarengkan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden RI, benar-benar situasi yang tidak enak bagi angkatan laut kita, disatu sisi menjaga dan siap melakukan aksi militer, tapi lagi-lagi terbungkus dengan perintah Presiden.

Masalah seputar tarian, Reog Ponogoro beberapa waktu lalu pernah diklaim sebagai punyanya negeri jiran, kemudian lagu Burung Kakatua dari Maluku pun menjadi kepunyaan mereka. Pelanggaran teranyar lainnya, ternyata Malaysia menduduki peringkat ke 4 dalam pencurian ikan laut negeri kita, jelas sumber dari departemen perikanan dan kelautan. Kembali kepada tarian pendet, pihak negeri dari penyanyi Siti Nurhaliza, menggunakan situasi pelanggarannya, pada saat umat Muslim di dunia, termasuk Indonesia (penduduk muslim terbesar di dunia) sedang memasuki bulan ramadhan pertama.

Salah satu Komentar di Blog mengenai tulisan ini : tukul rewangsa, — 22 Augustus 2009 jam 2:32 pm

Kalau saya, Bung Ronaldy, biarkan saja. Pemerintahan dan DPR kita memang banci, kok. Jangankan presiden menghargai tari-tarian tradisional macam itu, wong Lagu Indonesia Raya saja lupa dinyanyikan. Mungkin malahan pejabat kita sekarang lebih ingat Star Spangled Banner daripada budaya bangsanya. Kalau saya, malah, silahkan diambil oleh Malaysia, kalau memang hanya mereka yang mampu memanfaatkannya. Jangankan hanya lagu, hutan kita juga sudah lama diambil alih Malaysia. Anda ‘kan pernah dengan Malaysia exportir kayu no. 1 dunia? Ha ha ha, kayunya dari P. Sumatera. Yang kasih, ya, pemerintah kita. Lanjutkan!